Minggu, 08 Februari 2009

Budi Pekerti Wajib Di Sekolah

Oleh: JOKO SUTOPO, S.Pd
SMA Negeri 3 Tuban

Cerdas secara intelektual merupakan tuntutan dan harapan setiap orang untuk mencapai cita-cita agar kelak sukses dan berhasil. Kesuksesan dan keberhasilan itu akan mengangkat Prestige seseorang bila mampu menggunakan kecerdasan secara utuh dan seimbang dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Namun ternyata kecerdasan intelektual itu bukan satu-satunya pengantar keberhasilan dalam mencapai kesuksesan hidup seseorang. Daniel Goleman mengatakan kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20 persen keberhasilan seseorang dan 80 persen disumbang oleh kecerdasan lain.
Sekolah adalah “lumbung” generasi cerdas secara intelektual yang menjadi generasi penerus berkembangnya sebuah bangsa. Bagi siswa, disamping tempat menuntut ilmu, sekolah juga merupakan tempat tinggal kedua setelah rumah. Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi dan budaya membuat siswa jaman sekarang kehilangan jati diri sebagai masyarakat intelektual yang turun beberapa tingkatan (level) lebih rendah derajatnya karena dikaburkan oleh tingkah laku yang tidak sesuai secara norma atau aturan sosial. Tingkah laku yang tidak sesuai itu disebabkan bermacam-macam faktor lingkungan diantaranya keluarga dan sosial.
Keluarga akan membawa pengaruh yang besar pada diri anak, sebab keluarga merupakan cerminan kebiasaan anak dalam melakukan tingkah laku yang positif dalam berinteraksi dengan lingkungan, salah satu contoh kebiasaan berpamitan atau bersalam saat kembali kerumah atau saat akan meninggalkan rumah, anak akan melakukan hal yang sama sebagai akibat sebuah kebiasaan yang dilakukan dirumah dengan anggota keluarganya, begitu juga sebaliknya. Dilingkungan sosial perkembangan anak memang banyak dipengaruhi oleh teman sebaya, sebab anak lebih banyak berada diluar rumah dari pada berkumpul dengan keluarga. Hal ini menyebabkan semakin menipisnya nilai-nilai budi pekerti atau moral dalam diri anak tersebut. Anak akan menganggap itu baik bila lingkungan sebayanya mengatakan baik, anak akan merasa “berpengaruh” dalam kelompoknya apabila ia berhasil melakukan tindakan menyimpang. Tindakan ini akan terus berlanjut sebagai akibat dari eksistensi anak dalam kelompoknya dan berimbas pada lingkungan disekolahnya.
Berawal dari melanggar tata tertib sekolah hingga berkacak pinggang bila berbicara dengan guru, anak akan selalu mengembangkan pengaruh menyimpangnya pada teman-temannya disekolah. Dalam kondisi seperti ini guru menjadi obyek pelemparan kesalahan karena dianggap tidak berhasil dalam mendidik siswanya disekolah. Guru akan serba salah, sebagai manusia, guru pun kadang tersinggung bila bertemu dengan anak didik yang susah diatur dan menyimpang prilakunya, tidak jarang bogem mentah pun melayang karena menahan jengkel. Tujuan baik guru pun disalah artikan hingga tidak jarang orang tua siswa yang tidak terima dengan perlakuan yang diberikan pada anaknya dan melapokan ke pihak berwajib dengan tuduhan penganiayaan, guru pun dihukum penjara sebagai konsekuensi logis dalam penegakan Undang-Undang Perlindungan Anak dinegara kita.
Komisi Perlindungan Anak melarang adanya tindak kekerasan pada anak namun juga tidak ada solusi tepat untuk mengantisipasi kenakalan anak secara efektif. Sehingga hal ini disalah artikan oleh orang tua dan anak kemudian diungkapkan dengan tindakan sehingga membawa dampak negative bagi guru. Anak akan merasa besar kepala dan bebas melakukan apa saja disekolah termasuk berhadapan dengan guru. Hal ini bisa ditemui pada sekolah yang memiliki input siswa dengan skill yang dibawah rata-rata. Dirumah kepedulian orang tua terhadap perkembangan potensi dan psikologis anak tidak berjalan dengan semestinya karena alasan sibuk dengan pekerjaan, maka siswa yang demikian cenderung mendahulukan otot dari pada otak, sehingga anak seperti ini memiliki egoisitas, idealisme yang tinggi, dan temperamental, namun menyimpang.
Perkembangan moral yang menyimpang menyebabkan anak tidak mampu mengendalikan kondisi psikisnya dengan baik. Menurut Gerris, dkk (dalam Mönks, 1985: 313-314) bahwa perkembangan social-kognitif (kemampuan berinteraksi dalam sosial) terdiri dari 4 tingkatan; 1) Tingkatan egosentris, anak belum membedakan antara perspektif sendiri dengan perspektif orang lain. Ia belum “merasakan” bahwa orang lain yang tidak ada dalam situasi tertentu akan dapat mempunyai pandangan yang lain. 2) Tingkatan subyektif, anak sadar bahwa ada perspektif yang lain misalnya karena seseorang ada dalam situasi yang lain maka ia akan memperoleh informasi atau penilaian yang lain, tetapi belum mengerti hubungan antara perbedaan-perbedaan perspektif tersebut. 3) Tingkatan refleksi diri, sekarang ada perspektif yang menyebelah atau yang tidak timbal balik pada anak (bertepuk sebelah tangan). Anak sadar bahwa lain orang dapat mempunyai perasaan dan pikiran yang lain pula, tetapi ia belum mampu menghubungkan perspektif sendiri dengan perspektif orang lain. 4) Tingkat koordinasi perspektif, baru sekarang anak dapat mengerti suatu situasi-interaksi dari sudut pandangan orang ketiga yang “netral”. Sifat khasnya bahwa anak ini melihat dirinya dan interaksi dengan orang lain berdasarkan dari pandangan orang ketiga. Anak-anak yang secara intelektual dibawah rata-rata akan menunjukkan kekuatannya sebagai anak perkasa dalam kondisi apapun.
Mata pelajaran pendidikan moral saja tidak mempan untuk “menyembuhkan” penyakit yang sudah mendarah daging. Apalagi mata pelajaran tersebut telah lama dihapus, maka sangat dibutuhkan secara khusus pelajaran yang berorientasi pada pendidikan budi pekerti (unggah-ungguh). Guru BK (Bimbingan Konseling) dengan jumlah terbatas tidak cukup hebat dalam mengatasi hal yang demikian, untuk mengatasi hal tersebut harus didukung peran serta lintas sektoral dari semua unsur dalam lembaga bersangkutan, mulai dari guru dan personal yang lain sehingga ada sebuah tindakan nyata dalam mengatasi krisis budi pekerti.
Tindakan nyata yang selama ini dilakukan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur dan Dinas Pendidikan di daerah dalam hal ini adalah menyelenggarakan pendidikan budi pekerti dalam bentuk pagelaran Festival Fragmen dan Penulisan Naskah Budi Pekerti tingkat SMA se-Jawa Timur. Hal itu dirasa kurang maksimal sebab pelaksanaannya hanya satu tahun sekali. Anak melakukan hal tersebut bukan atas dasar pendidikan budi pekerti yang diberikan tetapi berdasarkan tuntutan naskah yang ditulis sang penulis naskah sehingga aplikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak ada dan terkesan sebuah formalitas.
Dari kondisi diatas perlu sebuah “solusi cerdas” untuk memasukkan pendidikan budi pekerti menjadi mata pelajaran wajib pada semua jenjang pendidikan di sekolah. Artinya, disamping memberikan pendidikan budi pekerti sebagai mata pelajaran tetap juga membuka kesempatan pekerjaan bagi sarjana-sarjana pendidikan yang belum tersalurkan ilmunya.
Pelajaran pendidikan budi pekerti akan lebih mantab lagi bila digunakan sebagai persyaratan wajib seseorang untuk masuk ataupun lulus dari sekolah dimaksud. Sehingga meringankan beban guru dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Selama ini guru telah berjuang mati-matian untuk mencerdaskan anak bangsa atas dasar profesi dan profesionalismenya, guru juga manusia, memiliki latar belakang masalah yang berbeda sehingga ada kemungkinan untuk membuat guru bersikap skeptis ketika menghadapi hal yang mengancam stabilitas kehidupan pribadinya, siapapun guru itu.
Sebuah pertanggungjawaban yang besar yang tidak hanya dipertanggungjawabkan pada sesama manusia tetapi juga dengan Sang Pencipta alam semesta. Bagaimanapun guru secara ikhlas memberikan semua ilmu yang dimilikinya tanpa ada paksaan, namun bila keikhlasan itu harus dibayar mahal dengan mengahadapi “kenakalan” anak yang tak punya rasa iba maka perlahan-lahan akan pupus dan memudar juga. Akan lebih mudah mencari anak cerdas intelektual disekolah daripada mencari anak yang cerdas dalam budi pekerti.
Perilaku baik atau buruk bukan merupakan faktor bawaan seseorang, maka perilaku tersebut bisa dipelajari siapa saja. Untuk memperjelas identitas sebagai makhluk yang beradab maka budi pekerti merupakan penyeimbang dalam berinteraksi di kehidupan social.

Baca Selanjutnya......

Jumat, 30 Januari 2009

Zero Class VS Smart Class Concept

Oleh: Joko Sutopo, S.Pd.
SMA Negeri 3 Tuban

“Jika anak-anak cerdas di cerdaskan itu merupakan hal yang biasa namun bila mencerdaskan anak yang kurang cerdas itu baru dikatakan luar biasa. Perspektif negative guru terhadap anak yang kurang cerdas selalu ”mengganggu” dalam mencerdaskannya padahal itu merupakan hak siswa dalam melalui proses belajar dengan baik dan benar”.

Sekolah adalah “lumbung” generasi cerdas secara intelektual. Cerdas intelektual merupakan tuntutan dan harapan setiap orang demi mencapai masa depannya kelak. Sehingga sekolahpun berlomba-lomba melakukan berbagai terobosan untuk mendapatkan legalitas pemerintah sebagai sekolah berstandar nasional (SSN) dengan tujuan untuk meningkatkan status sekolah dimata masyarakat dan pendidikan itu sendiri.
Dengan meningkatnya status sekolah menjadi standar nasional (SSN) maka berbagai programpun ditawarkan dan salah satu program yang menjadi trend saat ini adalah kelas “unggulan”.
Trend tersebut mampu merubah image sekolah menjadi lebih baik sebagai konsekuensi demi mendulang kepercayaan masyarakat. Sebagai respon positif maka orang tua akan memilih sekolah yang mampu “menciptakan” keberhasilan bagi anak-anaknya. Kebanggaan sekolah dalam mendidik siswa-siswa yang dasarnya sudah cerdas menjadikan prestige tersendiri. Namun hal ini tidak lagi mengejutkan ketika anak cerdas mampu menggunakan kecerdasannya dengan baik. Lalu bagaimana dengan siswa-siswa yang bukan kelas unggulan? Padahal sekolah didominasi oleh siswa-siswa dibawah rata-rata cerdas yang mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran seharusnya guru lebih peka terhadap kondisi yang dialami siswanya baik secara psikologis, sosiologis maupun fisiologisnya. Memberikan pembelajaran dengan meminta proses dan hasil belajar yang sama tanpa memperhatikan kemampuan masing-masing siswa, pada hakikatnya mengingkari adanya perbedaan individu (siswa). Ini menyebabkan mereka semakin apatis, sebab yang ada dalam memori guru hanyalah siswa-siswa yang cerdas sedangkan siswa yang kurang cerdas kurang mendapat ”tempat” sebagaimana layaknya. Peluang untuk bisa semakin kecil dan hal itu juga berpeluang membuat mereka semakin malas. Bila merujuk pada prinsip-prinsip dalam pengembangan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sanagt tidak sesuai, dijelaskan bahwa peserta didik sebagai sentral dalam mengembangkan potensi dengan memperhatikan keragaman karakteristik, potensi (minat dan bakat), kemampuan, kepentingan serta kebutuhan yang disesuaikan dengan kemampuan pribadi individu dan kondisi lingkungan (Riandary, Henny : 2007). Artinya sekolah wajib memberikan pembelajaran secara dinamis dan seimbang berdasarkan atas perbedaan potensi siswa. Perbedaan antara siswa unggulan dengan siswa dibawah rata-rata hanyalah pada abilitas (kemampuan), emosi, dan minat. Tetapi tidak mudah untuk ditelusuri sebab ada perbedaan-perbedaan yang komplek yang terbentuk dari lingkungan dimana ia berada. Prinsip individual bukan berarti memperlakukan secara khusus perorangan tetapi menyesuaikan dengan kemampuan siswa sama seperti kelas unggulan.
Ketika kelas unggulan (Smart Class) dengan berbagai programnya menjadi trade mark suatu sekolah, maka guru lupa bahwa siswa yang terlibat pembelajaran tidak hanya anak-anak cerdas tetapi juga anak “kurang cerdas”. Gadner (dalam Subiyanto, Paul : 2004) mengatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan anak bodoh, setiap anak mememiliki multi kecerdasan, bila anak tidak cerdas maka ia pasti memiliki kecerdasan lain. Yang memberi cap bodoh adalah manusia, siapkah kita menghilangkan dan tidak menyebut siswa bodoh?
Apa itu Zero Class?
Zero Class adalah istilah untuk kategori siswa yang mengalami kesulitan/keterlambatan belajar. Kesulitan belajar bisa berarti luas antara lain memiliki ciri-ciri malas belajar, lemah bila diajak berfikir, mudah putus asa, lemah kognitif akibat dari kesalahan belajar. Selain itu siswa yang mengalami lamban belajar dengan indikasi memiliki perbendaharaan bahasa yang terbatas, perlu memiliki kata-kata baru untuk menjelaskan pengertian, cepat mengambil kesimpulan tetapi tidak kritis, mudah puas dengan jawaban suatu yang dangkal dan lain sebagainya.
Indikasi seorang siswa mengalami kesulitan belajar menurut Kurniawan (2005) antara lain bisa dilihat pada nilai mata pelajaran dibawah nilai sedang dan atau dibawah rata-rata kelas, tidak maksimalnya antara prestasi dengan inteligensi, sulit menginterpretasi/mengerti pelajaran yang diberikan, tidak bisa berkonsentrasi dan lain sebagainya. Siswa semacam inilah yang sedang mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia yang tidak mendapatkan memotivasi, perhatian dari guru maupun sekolah. Anak-anak lebih banyak “dimotivasi” dengan kata-kata kasar dari pada kata-kata baik dalam kehidupan sosialnya. Berdasarkan penelitian yang dibaca oleh penulis bahwa anak mendapatkan perlakuan kasar sebanyak ratusan kali dan hanya mendapatkan puluhan kali perlakuan baik dalam sehari. Ini menandakan bahwa perlakuan buruk adalah kebiasaan para guru atau orang tua dalam memotivasi anaknya.
Jika anak-anak cerdas di cerdaskan itu merupakan hal yang biasa namun bila mencerdaskan anak yang kurang cerdas itu baru dikatakan luar biasa. Perspektif negative guru terhadap anak yang kurang cerdas selalu ”mengganggu” dalam mencerdaskannya padahal itu merupakan hak siswa dalam melalui proses belajar dengan baik dan benar.
Apa yang harus dilakukan pada siswa kategori Zero Class?
Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa jika guru memberikan perhatian khusus pada siswa kelas unggulan, hal yang sama juga seharusnya berlaku pada siswa Zero Class.
Kerjasama lintas sektoral antara sekolah, guru (guru bk), orangtua dan siswa dalam memberikan perhatian sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental mereka dalam mengikuti proses belajar dan memotivasi dirinya agar mengalami perubahan dalam kegiatan belajar mengajar, sebab satu tindakan minor yang dilakukan akan mengakibatkan masalah baru. Perubahan yang dialami tidak frontal tetapi selangkah demi selangkah dengan menyesuaikan pengalaman belajar si anak.
Setiap anak pasti memiliki pengalaman belajar yang berbeda-beda, guru memanfaatkan pengalaman belajar tersebut dalam pembelajaran.
Menurut Peter Sheal (1989) bahwa pengalaman belajar meliputi 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengar , 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 70% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan. Proses pembelajaran pada prinsipnya merupakan proses pengembangan keseluruhan sikap kepribadian khususnya mengenai aktifitas dan kreatifitas siswa melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar.
Dalam Kelas “Zero” guru diposisikan menjadi guru yang sebenarnya yaitu sebagai fasilitator pembelajaran. Karena sebagai fasilitator, guru wajib menggunakan model-model pembelajaran sebab model pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan proses pembelajaran. Model pembelajaran mutakhir yang mengedepankan aktifitas siswa dalam setiap interaksi edukatif untuk dapat melakukan eksplorasi dan menemukan pengetahuannya sendiri. Model pembelajaran yang tidak mengindoktrinasi siswa dengan pengetahuan yang disampaikan. Guru harus siap bereksplorasi menjadi seorang aktor dalam kelas Zero.
Dalam pandangan construktivisme belajar adalah suatu peristiwa dimana siswa secara terus menerus membangun gagasan-gagasan baru dan atau mememodifikasi gagasan lama dalam struktur kognitif.
“Lulus” ujian merupakan harapan bagi setiap siswa. Sekolah pun demikian, akan menjadi “hambatan” bagi sekolah bila terdapat siswa-siswanya tidak lulus ujian, sebab akan mencemarkan nama baik sekolah. Maka hal ini sering menjadi inspirasi negatif bagi sekolah untuk mencari jalan keluar dari masalah ketidaklulusan.Dengan adanya keseimbangan dalam memperlakukan siswa-siswinya tentu akan mengurangi ketakutan-ketakutan bagi siswa maupun sekolah (guru) sebagai designer pendidikan sebagai dampak dari kegagalan dalam mendidik siswa. Ketidaklulusan tidak lagi menjadi masalah bagi sekolah maupun siswa.

Baca Selanjutnya......

Rabu, 07 Januari 2009

Modul Ajar Bimbingan Konseling karya: Joko Sutopo, S.Pd

Modul ini diciptakan untuk memudahkan konselor apabila ada jam mengajar di kelas. Sebab materi-materi yang dicantumkan adalah berdasarkan hasil dari musyawarah guru bimbingan dan konseling (MGBK) Sekolah Menengah Atas (SMA) di Tuban, Jawa Timur. Untuk mendalami lebih jauh tentang apa itu bimbingan konseling, tidak hanya menggunakan teori, namun harus selalu melakukan observasi dilapangan, tidak mudah berasumsi pada anak, selalu berpikir positif dalam kondisi apapun dan terhadap siapapun.
Membiasakan diri untuk berpikir positif, dengan memberikan motivasi-motivasi positif, tidak mudah mem-vonis orang lain ataupun diri sendiri. Kurangi menyalahkan anak karena itu akan menghancurkan hidup mereka.
Bila anda seorang konselor, siapa pertama kali yang seharusnya di konseling?

Baca Selanjutnya......